-->

Criticizing The Argument of Albert Einstein About Tax

"The hardest thing in the world to understand is the Income Tax” - Albert Einstein. Seorang ilmuwan yang terkenal dengan penemuan teori relativitas, Albert Einstein, beropini bahwa pajak penghasilan merupakan hal tersulit di dunia. Terlepas ungkapan tersebut bermakna satir maupun tidak, tentulah timbul tanya, bagaimana bisa seorang ilmuwan di bidang fisika -yang sudah terbiasa berinteraksi dengan angka-angka- dapat melontarkan ungkapan tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa berbagai negara, semenjak era Albert Einstein sampai dengan era Via Vallein, telah melakukan reformasi perpajakan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Namun, masih saja ada anggapan bahwa bayar pajak itu sulit dan kepatuhan wajib pajak masih belum optimal. Menurut Saad (2014), persepsi wajib pajak terhadap kompleksitas sistem perpajakan serta pengetahuan wajib pajak tentang perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak[1]. Namun, menurut Sheffrin (2002), kompleksitas sistem perpajakan tidak serta merta memiliki pengaruh yang signifikan terhadap niatan wajib pajak untuk melakukan tax evasion[2].

Cost of compliance. Biaya kepatuhan pajak dalam sudut pandang wajib pajak adalah biaya yang timbul pada wajib pajak sehubungan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak berdasarkan undang-undang[3]. Biaya ini dapat bersifat kuantitatif antara lain biaya pegawai, tenaga ahli, perjalanan, pengiriman pos/ekspedisi, software, listrik, pulsa, dan semua biaya yang bernilai rupiah. Biaya kepatuhan juga dapat berupa biaya waktu (time to comply), biaya psikologis, dan biaya yang tidak bernilai uang lainnya. Berikut merupakan data hasil analisis PriceWaterhouseCoopers dan World Bank dalam “Paying Taxes 2017”



Peringkat Indonesia dalam kemudahan membayar pajak di posisi 104.
Total tarif pajak Indonesia (PPh badan, PPh 21, dan lainnya)  sebesar 30,6 persen.
Jumlah pembayaran pajak di Indonesia sebanyak 43 jenis pembayaran.
Time to comply PPh badan, PPh 21, dan PPN di Indonesia rata-rata 221 jam.
Time to comply pada permohonan restitusi pajak PPN di Indonesia rata-rata 18 jam.
Waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh restitusi PPN rata-rata 30,9 minggu.
Untuk meningkatkan capaian sebagaimana data yang telah disebutkan sebelumnya, maka Indonesia dapat menerapkan rekomendasi good practice administrasi pajak menurut World Bank antara lain offering electronic filing and payment, keeping it simple (one tax base, one tax), Adopting self-assessment as an effective tool for tax collection[4].




Ease of doing business. Kebutuhan akan kemudahan administrasi perpajakan telah direspon oleh berbagai negara di dunia. Di Indonesia, kemajuan teknologi telah dimanfaatkan demi kemudahan proses bisnis dan layanan perpajakan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menerapkan e-governance pada berbagai layanan perpajakannya. Pada layanan pendaftaran wajib pajak, DJP menerapkan e-registration. Pada layanan konsultasi dan pengaduan ada “kring pajak” 1500200 yang telah mendapatkan penghargaan di tingkat nasional maupun internasional. Pada layanan pelaporan, DJP menyuguhkan e-filing dengan tagline “mudah, cepat, dan aman”. Bahkan, untuk wajib pajak orang pribadi pegawai/karyawan telah disediakan SPT Tahunan siap saji (draft SPT tahunan). Pada layanan penerbitan faktur pajak, DJP mempermudah wajib pajak dengan layanan e-faktur. Pada layanan pembayaran pajak, wajib pajak tidak perlu lagi repot-repot mengisi SSP, cukup melalui layanan e-biling. Kemudahan ini patut diapresiasi, tinggal bagaimana mengatasi solusi permasalahan gangguan pada saat wajib pajak berbondong-bondong mengakses layanan tersebut. Singkatnya, ease of doing business di Indonesia telah berdampak positif bagi kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan maupun pengawasan wajib pajak. Biaya kepatuhan wajib pajak dapat berkurang karena adanya layanan berbasis online.

Simplifying tax system. Hal yang paling fundamental dalam kompleksitas pajak adalah sistem perpajakan itu sendiri misalnya yurisdiksi, basis perpajakan, struktur tarif pajak, jumlah dan sifat pembebanan pajak[5]. Salah satu kebijakan penyederhanaan sistem perpajakan adalah kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 atau pajak 1 persen dari omset. Kebijakan pemerintah Indonesia ini bahkan diulas oleh PriceWaterhouseCooper dan World Bank dalam bukunya yang berjudul “Paying Taxes 2017”. Kebijakan PP 46 diharapkan dapat meminimalkan biaya kepatuhan bagi wajib pajak dan meminimalkan sengketa antara wajib pajak dengan DJP. Terlepas dari pro dan kontra tarkait besaran tarif PP 46, hal yang terpenting dari kebijakan ini adalah dapat dengan mudah diterapkan oleh wajib pajak UMKM. Penggunaan satu tarif dengan batasan omset dalam lingkup model bisnis UMKM yang beraneka ragam tentunya menimbulkan pro dan kontra. Pemerintah perlu melakukan perbaikan ketika kebijakan ini kurang relevan dan perlu dilakukan perbaikan.

Simplifying tax law. Rumus keberhasilan reformasi pajak adalah melalui pengupayaan penyederhanaan atau simplifikasi peraturan perpajakan[6]. Momentum amnesti pajak di tahun 2016 bertepatan dengan agenda nasional reformasi peraturan pajak serta agenda internasional automatic exchange of information (AEoI) harus dimanfaatkan pemerintah dengan baik. Peraturan perpajakan sangat kompleks, terdiri di semua hirarki dari Undang-Undang Dasar sampai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak. Perubahan di salah satu kebijakan akan berdampak domino pada perubahan kebijakan lain. Sehingga, biaya kepatuhan dari sisi DJP baik berupa uang maupun waktu akan terkuras untuk sekedar mengubah kebijakan. Di sisi lain, peraturan pajak yang kompleks dan rigid dimaksudkan agar tidak adanya ruang abu-abu namun penyederhanaan peraturan haruslah menjadi elemen yang penting dari sebuah peraturan. Selain itu, sinergi antar instansi maupun asosiasi wajib pajak diperlukan untuk memberikan aspirasi yang berguna bagi penyederhanaan peraturan pajak.

Conslusion. Kemudahan memenuhi kewajiban perpajakan setidaknya dapat memperbaiki persepsi wajib pajak tentang bagaimana kompleksitas kewajiban pajak. Semakin dipermudah, maka wajib pajak akan mudah pula untuk mengerti. Semakin wajib pajak mengerti, maka semakin rendah biaya kepatuhan. Semakin rendah biaya kepatuhan, maka wajib pajak akan tergerak untuk patuh pajak. Solusi pada aspek ease of doing business dapat berupa optimalisasi penerapan e-registration, e-filing, e-faktur, e-biling, dan program e-governance lainnya. Solusi pada aspek penyederhanaan sistem perpajakan dapat berupa penyederhanaan basis perpajakan, tarif pajak, optimalisasi PP 46. Solusi pada aspek penyederhanaan peraturan berupa perumusan peraturan yang adil, sederhana, dan mudah dimengerti serta tepat waktu. Kalau bukan saat ini, maka anak cucu kita suatu saat nanti akan mematahkan argumen Albert Einstein dengan gagahnya berkata, “Nowadays, taxation is NOT the hardest thing in the world anymore. You guys just googling, calling 1500200, or asking Account Representatives. Then your problem solved”. :)



Referensi:
Budak, Tamer & James, Simon & Sawyer, Adrian. (2016). The Complexity of Tax Simplification: Experiences From Around the World. Rethinking Investment Incentives. 1-10. 10.1057/9781137478696_1.

Evans, Christopher. (2008). Taxation Compliance and Administrative Costs: An Overview. Tax Compliance Costs for Companies in an Enlarged European Community. 447-468.

Forest, A., & Sheffrin, S. (2002). Complexity and Compliance: An Empirical Investigation. National Tax Journal, 55(1), 75-88. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/41789600.

Natrah Saad, Tax Knowledge, Tax Complexity and Tax Compliance: Taxpayers’ View, In Procedia - Social and Behavioral Sciences, Volume 109, 2014, Pages 1069-1075, ISSN 1877-0428, https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.12.590.

PriceWaterhouseCoopers, World Bank. 2017. Paying Taxes 2017 diunduh dari https://www.pwc.com/gx/en/services/tax/paying-taxes-2017.html diakses pada 18 Oktober 2017.













[1] Natrah Saad, Tax Knowledge, Tax Complexity and Tax Compliance: Taxpayers’ View, In Procedia - Social and Behavioral Sciences, Volume 109, 2014, Pages 1069-1075, ISSN 1877-0428, https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.12.590.
[2] Forest, A., & Sheffrin, S. (2002). Complexity and Compliance: An Empirical Investigation. National Tax Journal, 55(1), 75-88. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/41789600
[3] Evans, Christopher. (2008). Taxation Compliance and Administrative Costs: An Overview. Tax Compliance Costs for Companies in an Enlarged European Community. 447-468.
[5] Budak, Tamer & James, Simon & Sawyer, Adrian. (2016). The Complexity of Tax Simplification: Experiences From Around the World. Rethinking Investment Incentives. 1-10. 10.1057/9781137478696_1.
[6] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt587370d52e264/penyederhanaan-peraturan-jadi-rumus-reformasi-perpajakan
Advertisement

Baca juga:

Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar

No comments