-->

Fixing Tax Compliance For Synergitic Climate Between Tax Payer and Government

"If you think (fixing) tax compliance is expensive, try non-compliance!”[1]. Beberapa minggu yang lalu, lini masa di salah satu jagad media sosial diwarnai dengan adanya niatan seorang penulis terkenal yang ingin berhenti menerbitkan buku melalui penerbit. Alasan penulis - yang kebetulan merupakan lulusan fakultas ekonomi dan jurusan akuntansi - itu sederhana. Menurutnya pemungutan pajak royalti terhadap penulis dianggap kurang adil. Menteri Keuangan pun ikut menanggapi tulisan tersebut, dan secara sigap berkoordinasi dengan DJP untuk melakukan dialog perpajakan dan pekerja seni selang beberapa hari kemudian. Berbalut acara yang serius dan formal namun santai, tak segan para undangan bertanya dan memberikan masukan untuk pemerintah khususnya dalam bidang penulisan buku maupun penciptaan karya seni. Setelah melihat dialog yang disiarkan live di media sosial, terbersit sebuah hikmah akan pentingnya dialog dan komunikasi yang bersifat dua arah langsung antara wajib pajak dengan pejabat negara yang kredibilitasnya diakui dan dipercaya oleh masyarakat. Komunikasi dua arah inilah yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas kebijakan perpajakan, tingkat pengetahuan wajib pajak, dan pada ujungnya akan meningkatkan voluntary compliance atau kepatuhan secara sukarela terhadap kewajiban perpajakan. Kisah di atas merupakan pemantik ide bagi penulis untuk memberikan gagasan untuk pemerintah mengenai usaha meningkatkan kepatuhan pajak sesuai dengan taglineif you think (fixing) tax compliance is expensive, try non-compliance”.
Do we need to go back to the official assessment system with our brand new organizational culture? Ada dilema yang muncul mengenai keputusasaan di tengah rendahnya kepatuhan pajak di Indonesia meskipun usaha keras sudah dilakukan. Pemungutan pajak sudah berganti mahzab dari official assessment ke self assessment. Tak jarang orang yang berkata bahwa lebih baik pemungutan pajak kembali menganut official assessment meskipun secara teoritis sistem self assessment lebih baik. Menurut Kirchler (2007), terdapat dua dimensi utama dalam kepatuhan pajak, yaitu the power of tax authorities and the trust in tax authorities[2]. Sistem perpajakan self assessment mempunyai kelebihan dari sisi trust Wajib Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Namun, perlu usaha yang keras bagi pemerintah untuk membangun voluntary compliance seperti yang sedang dilakukan saat ini. Sedangkan, sistem official assessment sendiri mempunyai kelebihan dari sisi power otoritas pajak dalam menghitung kewajiban pajak Wajib Pajak dengan benar. Namun, pada sisi reason based trust dari Wajib Pajak kepada DJP cenderung rendah walaupun implicit trust dan enforced compliance nya bisa menjadi tinggi. Asumsi di atas adalah DJP dalam kondisi sudah menerapkan modernisasi dan reformasi birokrasi. Sistem pemungutan pajak self assesment lebih mengarah ke pendekatan antagonistic climate. Sedangkan official assessment mengarah ke pendekatan synergistic climates. Analogi antagonistic climate layaknya “polisi dan penjahat” sedangkan analogi synergitic climates layaknya “pelayanan dan klien”[3]. Pada era media sosial seperti sekarang ini, penerapan enforced compliance dapat memberikan excess adanya kegaduhan Wajib Pajak yang disuarakan melalui media sosial. Sehingga sistem self assessment, reason based trust, serta voluntary compliance merupakan kerangka yang sangat penting saat ini.
Which one is good? Voluntary or enforced? Kirchler (2007) menciptakan suatu model kerangka kepatuhan pajak yang dinamakan “slippery slope” yang jika kita terjemahkan artinya adalah lereng licin. Kerangka tersebut melibatkan dua dimensi yang telah disebutkan di paragraf sebelumnya yaitu power of authorities yang menciptakan iklim antagonis (antagonistic climate) dan trust in authorities yang menciptakan iklim sinergi (synergitic climate). Pada risetnya, Kirchler mempertimbangkan tujuh faktor penting untuk meningkatkan kepatuhan berdasarkan dimensi power dan trust. Faktor pertama, probabilitas audit lebih memerlukan power karena Andreoni, Erard, & Feinstein (1998) dalam risetnya berpendapat bahwa objektivitas dalam probabilitas audit memiliki pengaruh yang rendah terhadap kepatuhan pajak. Faktor kedua, denda memerlukan dimensi power sebagai bagian dari analogi “polisi dan penjahat” maupun trust sebagai retribusi yang memadai bagi perilaku yang merugikan komunitas “pelayan dan klien”. Ketiga, tarif pajak seharusnya menggunakan pendekatan trust karena tarif yang rendah sekalipun jika Wajib Pajak tidak percaya kepada DJP maka kepatuhan tetap akan rendah.Keempat, pengetahuan wajib pajak mengenai perpajakan menggunakan dimensi trust, karena semakin rendah pengetahuan terhadap pajak maka trust juga rendah. Kelima dan keenam, Sikap terhadap pajak dan norma sosial membutuhkan power maupun trust. Faktor terakhir, keadilan pemungutan membutuhkan dimensi trust . Perdebatan mengenai kepatuhan mana yang baik, sejatinya voluntary compliance merupakan pilihan utama, tetapi pada tataran praktis, keduanya sama-sama dibutuhkan karena bisa dimungkinkan terjadi transformasi kepatuhan wajib pajak menjadi voluntary compliance.
Information is important for tax authorities for decision making. Solusi utama menurut penulis saat ini adalah kembali mengacu kepada paragraf pertama disertai dengan sudut pandang pada paragraf kedua dan ketiga. Kehumasan, komunikasi dua arah serta penyuluhan harus lebih diperkuat. Direktorat Jenderal Pajak mempunyai banyak direktorat teknis di bidang perpajakan, namun hanya mempunyai satu direktorat kehumasan. Alangkah baiknya apabila proses penciptaan kebijakan perpajakan dimulai dari adanya dialog dengan stakeholder dalam hal ini adalah Wajib Pajak sehingga akan lebih merefleksikan komunikasi dua arah antara “pelayan dan klien” sesuai dengan pendekatan synergitic climates. Direktorat Jenderal Pajak mempunyai dan sembilan direktorat teknis, dua direktorat teknologi informasi, tiga direktorat supporting, dan satu direktorat kehumasan yaitu Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat. Pada tahap pasca penerbitan peraturan perundang-undangan, DJP mempunyai kewajiban untuk melakukan sosialisasi yang optimal termasuk menerima masukan terkait perbaikan mengenai kebijakan terkait tujuh faktor yang telah dibahas pada paragraf ketiga. Pada level kantor instansi vertikal juga harus diperkuat fungsi kehumasan, komunikasi, dan penyuluhan untuk perbaikan kebijakan. Pada akhirnya, kepercayaan (trust) masyarakat  meningkat dan kewenangan (power) yang dimiliki DJP juga optimal. Namun, peran penegakan hukum juga tidak boleh terlewatkan untuk menangani Wajib Pajak yang tidak patuh.
Conclusion. Singkatnya, kepercayaan masyarakat menjadi bagian yang terpenting dalam meningkatkan kepatuhan pajak. Probabilitas audit, penetapan denda, besarnya tarif, tingginya pengetahuan perpajakan wajib pajak, sikap masyarakat terhadap pajak, norma sosial masyarakat, dan keadilan menjadi faktor yang penting untuk diperhatikan dalam meningkatkan kepatuhan pajak. Solusi riil nya adalah menguatkan fungsi kehumasan pada DJP agar terjadinya arus informasi dan komunikasi dua arah untuk menciptakan kebijakan perpajakan yang adil bagi masyarakat. Kurikukulum pendidikan mengenai semangat patuh membayar pajak harus dilibatkan sedari dini agar menciptakan sikap dan norma sosial masyarakat terhadap pajak, minimal meningkatkan kesadaran bergotong royong untuk pembangunan negara. Pemanfaatan uang pajak pun harus dengan bijak digunakan oleh pemerintah karena berkaitan dengan kepercayaan masyarakat. Salah satu ide gila penulis yang mungkin dapat diterapkan nantinya adalah Indonesia menerapkan single obligation payment system, dimana masyarakat hanya cukup satu saja kewajiban dalam hidup bernegaranya, yaitu pajak. Satu kewajiban pajak menggratiskan semuanya. Indonesia bisa berguru pada keberhasilan Finlandia dalam “menggratiskan” layanan kepada warganya, dengan cukup membayar pajak. Hasilnya, masyarakatnya mempunyai trust yang tinggi kepada pajak. Semoga Indonesia pun bisa!


Referensi:

Hofmann, E., Gangl, K., Kirchler, E., & Stark, J. (2014). Enhancing tax compliance through coercive and legitimate power of tax authorities by concurrently diminishing or facilitating trust in tax authorities. Law & policy, 36(3), 290-313. https://doi.org/10.1111/lapo.12021.

James Andreoni, Brian Erard dan Jonathan Feinstein, “Tax Compliance,” Journal of Economic Literature Vol. 36, No.2, (Juni, 1998), 818-860.

Katharina Gangl, Eva Hofmann, Erich Kirchler, Tax authorities' interaction with taxpayers: A conception of compliance in social dilemmas by power and trust, In New Ideas in Psychology, Volume 37, 2015, Pages 13-23, ISSN 0732-118X, https://doi.org/10.1016/j.newideapsych.2014.12.001.

Kirchler, Erich & Hoelzl, Erik & Wahl, Ingrid. (2008). Enforced versus voluntary tax compliance: The “slippery slope” framework. Journal of Economic Psychology. 29. 210-225. https://doi.org/10.1016/j.joep.2007.05.004.





[2] Kirchler, Erich & Hoelzl, Erik & Wahl, Ingrid. (2008). Enforced versus voluntary tax compliance: The “slippery slope” framework. Journal of Economic Psychology. 29. 210-225
[3] Ibid.

Advertisement

Baca juga:

Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar

No comments